Sifat Takbir Intiqal Dalam Shalat
Pada tulisan yang telah lalu, telah dibahas tata cara takbiratul ihram. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana sifat takbir dalam shalat yang selain takbiratul ihram. Selain takbiratul ihram, ada beberapa takbir yang lain di dalam shalat, yang disebut dengan takbir intiqal. Intiqal artinya perpindahan, dikatakan demikian karena takbir-takbir ini dilakukan ketika perpindahan dari satu gerakan wajib ke gerakan wajib yang lain. Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan, “perpindahan antara rukun dan antara gerakan wajib dalam shalat tidak dilakukan kecuali dengan ucapan takbir. Dikecualikan berdasarkan ijma, ketika beranjak dari rukuk. Karena ketika itu disyariatkan mengucapkan tahmid (bukan takbir, pent.)” (Shifatu Shalatin Nabi, 113).
Diam sejenak sebelum rukuk
Sebelum membahas takbir intiqal, sedikit kita bahas mengenai saktah (diam) sebelum takbir intiqal. Ulama Hanabilah dan Syafi’iyyah menganjurkan saktah sebelum mengucapkan takbir ketika hendak rukuk. Syaikh Ibnu Al Utsaimin mengatakan, “disunnakan sebelum rukuk untuk diam sejenak. Namun bukan diam yang lama, sekadar cukup untuk menenangkan jiwa (sebelum rukuk)” (Syarhul Mumthi, 3/86). Sedangkan Malikiyyah dan Hanafiyah berpendapat hal tersebut tidak disyariatkan.
Masalah ini didasari oleh hadits dari Samurah bin Jundub radhiallahu’anhu,
أ وسكتة إذا فرغ من فاتحة الكتاب وسورة عند الركوع
“aku mengingat ada dua saktah (berhenti sejenak) dalam shalat, pertama ketika imam bertakbir hingga ia membaca (Al Fatihah), dan ketika ia selesai membaca Al Fatihah serta surat, ketika hendak rukuk” (HR. Abu Daud 777).
Namun hadits ini diperselisihkan derajatnya, karena dalam sanadnya terdapat Al Hasan bin Yassar yang meriwayatkan dari Samurah. Syaikh Abdul Haqq Al Isybili menyatakan, “sima‘ Al Hasan dari Samurah di benarkan oleh Ali bin Al Madini, namun diingkari oleh para ulama yang lain”. Yang rajih insya Allah, Al Hasan tidak mendengar dari Samurah sebagaimana dikatakan oleh Ad Daruquthni setelah membawakan hadits ini: “Al Hasan diperselisihkan sima’-nya dari Samurah. Yang tepat, ia hanya mendengar satu hadits saja dari Samurah, yaitu hadits tentang aqiqah”. Sehingga hadits ini dhaif karena inqitha’. Hadits ini didhaifkan oleh Al Albani dalam Dhaif Abu Daud. Maka yang tepat, tidak dianjurkan untuk diam sejenak sebelum rukuk secara khusus.
Namun hal ini masuk dalam keumuman tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam membaca Al Qur’an, yaitu beliau berhenti setiap selesai satu ayat. Sebagaimana hadits dari Ummu Salamah radhiallahu’anha:
كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا قرأَ يُقطّعُ قراءتَهُ آيةً آيةً
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya membaca Al Qur’an dengan memotongnya satu ayat satu ayat” (HR. Abu Daud 4001, Ad Daruquthni 1/651, dishahihkan Al Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabiy 1/293).
Syaikh Al Albani menjelaskan, “yang menunjukkan disyariatkannya saktah dalam hal ini (sebelum rukuk) adalah penjelasan yang telah lalu bahwa tuntunan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam membaca Al Qur’an yaitu beliau berhenti pada setiap ayat. Dan saktah ini, dikatakan oleh Ibnul Qayyim, sekadar bisa membuat jiwanya kembali (siap untuk rukuk, pent.)” (Ashlu Shifati Shalatin Nabiy 2/601).
Hukum takbir selain takbiratul ihram
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum takbir selain takbiratul ihram atau takbir intiqal menjadi tiga pendapat:
- Pendapat pertama, hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama.
- Pendapat kedua, hukumnya wajib. Merupakan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
- Pendapat ketika, hukumnya wajib pada shalat fardhu, namun sunnah pada shalat sunnah. Ini pendapat yang lain dari Imam Ahmad.
Pendapat yang mewajibkan berdalil dengan hadits Abu Hurairah,
كان رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إذا قام الى الصلاةِ ، يُكبِّرُ حين يقومُ ، ثم يُكبِّرُ حين يركعُ ، ثم يقولُ: سَمِعَ اللهُ لمن حمدَه. حين يرفعُ صُلبَه من الركعةِ ، ثم يقولُ وهو قائمٌ: ربنا ولك الحمدُ . قال عبدُ اللهِ: ولك الحمدُ. ثم يُكبِّرُ حين يَهْوي، ثم يُكبِّرُ حين يرفعُ رأسَه ، ثم يُكبِّرُ حين يسجدُ ، ثم يُكبِّرُ حين يرفعُ رأسَه ، ثم يفعلُ ذلك في الصلاةِ كلِّها حتى يَقضيها
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassalam ketika shalat, beliau bertakbir saat berdiri, kemudian bertakbir ketika akan rukuk dan mengucapkan: ‘sami’allahu liman hamidah’, yaitu ketika ia mengangkat punggungnya dari ruku. Dan ketika sudah berdiri beliau mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamd’. Kemudian beliau bertakbir ketika akan bersujud. Kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya (bangun dari sujud). Kemudian beliau bertakbir lagi ketika akan bersujud. Kemudian bertakbir lagi ketika mengangkat kepalanya (bangun dari sujud). Kemudian beliau melakukan hal itu dalam semua rakaat hingga selesai shalat” (HR. Al Bukhari 789).
Juga hadits,
صلّوا كما رأيتموني أصلّي
“shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al Bukhari 631, 6008).
Hadits ini menggunakan kata perintah sehingga para ulama mengatakan bahwa hukum asal tata cara shalat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah wajib. Namun jumhur ulama menjawab, bahwa kaidah fiqhiyyah mengatakan,
الأمر المجرد يدل على الوجوب إلا لقرينة صارفة
“perintah menunjukkan hukum wajib, kecuali ada qarinah yang menyimpangkan dari hukum wajib”
Dan ada 2 qarinah (isyarat) yang menyimpangkan dari wajibnya hal tersebut:
- Qarinah pertama, tidak ternukil riwayat bahwa praktek takbir yang dilakukan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tersebut dilakukan secara terus-menerus.
- Qarinah kedua, terdapat banyak riwayat dari para sahabat bahwa mereka biasa meninggalkan takbir intiqal.
عن عمران بن حصين قال صلى مع علي رضي الله عنه بالبصرة فقال ذكرنا هذا الرجل صلاة كنا نصليها مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر أنه كان يكبر كلما رفع وكلما وضع
“dari Imran bin Hushain, ia berkata bahwa ia pernah shalat bersama Ali bin Abi Thalib di Bashrah. Ia berkata: ‘Orang ini mengingatkan kita pada cara shalat yang biasa kita dipraktekkan bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam‘. Dan ia menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah beliau senantiasa bertakbir ketika naik dan ketika turun” (HR. Al Bukhari 784).
Hadits ini menunjukkan bahwa sebagian sahabat biasa meninggalkan takbir intiqal, sehingga ketika ada sahabat yang senantiasa ber-takbir intiqal mereka teringat bahwa demikianlah praktek shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Bukan karena para sahabat tersebut meninggalkan tuntunan Rasulullah, namun karena mereka memahami bahwa takbir intiqal bukanlah sesuatu yang wajib.
عن أبي سلمة,أن أبا هريرةَ كان يُكَبِّرُ في الصلاةِ كُلَّما رَفَعَ ووَضَعَ ، فقلنا : يا أبا هريرةَ ، ما هذا التَكْبِيرُ ؟! قال : إنها لَصلاةُ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
“dari Abu Salamah, bahwasanya Abu Hurairah bertakbir dalam shalat setiap kali naik dan setiap kali turun. Maka kami pun bertanya: Wahai Abu Hurairah, takbir apa ini? Beliau menjawab: inilah cara shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam” (HR. Muslim 392).
Abu Salamah adalah tabi’in. Maka atsar ini juga menunjukkan bahwa sebagian tabi’in biasa tidak ber-takbir intiqal.
عن عكرمة, قال :صليتُ خلف شيخٍ في مكةَ ، فكبَّرَ ثنتين وعشرين تكبيرةً ، فقلتُ لابنِ عباسٍ: إنه أحمقُ، فقال: ثَكلتك أُمُّك، سُنَّةُ أبي القاسمِ صلى الله عليه وسلم
“dari Ikrimah, ia berkata: aku pernah shalat bermakmum pada seorang Syaikh di Mekkah. Ia bertakbir sebanyak 22 kali dalam shalatnya. Aku pun berkata kepada Ibnu Abbas: ‘orang ini dungu’. Ibnu Abbas sontak berkata: ‘tsakilatka ummuk (betapa ruginya dirimu)! Ini sunnah-nya Abul Qasim Shallallahu’alaihi Wasallam‘” (HR. Al Bukhari 788).
Ikrimah adalah seorang tabi’in, yang merupakan murid senior Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma. Atsar ini menunjukkan bahwa Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas tidak memandang takbir intiqal sebagai suatu kewajiban, walaupun memang tuntunan dari Rasulullah adalah demikian.
Selain itu juga terdapat atsar-atsar lain yang menunjukkan bahwa Umar bin Al Khathab, Umar bin Abdil Aziz, Al Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdillah, dan Sa’id bin Jubair tidak menyempurnakan takbir (itmaam at takbir), atau dengan kata lain mereka meninggalkan takbir intiqal (lihat Sifat Shalat Nabi lit Tharifi, 115).
Dari keterangan-keterangan ini, kita ketahui bahwa para salaf memahami bahwa takbir intiqal bukanlah hal yang wajib dilakukan, dan telah masyhur diantara mereka bahwa mereka terkadang meninggalkannya. Sehingga pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan bahwa takbir intiqal hukumnya sunnah. Wallahu a’lam.
Hukum mengangkat tangan ketika takbir saat hendak rukuk
Raf’ul yadain atau mengangkat kedua tangan ketika takbir saat hendak rukuk hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur ulama, dari Syafi’iyyah, Hanabilah, pendapat terakhir dari Imam Malik, Al Auza’i dan para ulama Syam dan Hijaz (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah 23/130, Ashlu Sifati Shalatin Nabiy 2/611). Dalil-dalil mengenai disyariatkannya raf’ul yadain dalam hal ini sangat banyak hingga mencapai derajat mutawatir. Diantara dalilnya hadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma,
أنَّ النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم كان يرفعُ يديه حذوَ مَنكبيه؛ إذا افتتح الصَّلاةَ، وإذا كبَّرَ للرُّكوع، وإذا رفع رأسه من الرُّكوع
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya” (HR. Bukhari 735).
Juga hadits dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu,
إذا صلَّى كبَّر ورفَع يدَيهِ، وإذا أراد أن يركَع رفَع يدَيهِ، وإذا رفَع رأسَه من الرُّكوعِ رفَع يدَيهِ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Ketika hendak rukuk, beliau mengangkat kedua tangannya. Dan ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengangkat kedua tangannya” (HR. Al Bukhari, 737).
Demikian juga praktek para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Imam Al Bukhari memiliki kitab khusus yang berjudul “Qurratu ‘Ainain bi Raf’il Yadain fis Shalah” atau sering disebut “Juz Raf’il Yadain” yang menyebutkan riwayat-riwayat mengenai mengangkat kedua tangan ketika takbir dalam shalat. Di dalamnya beliau mengatakan:
وَكَذَلِكَ يُرْوَى عَنْ سَبْعَةَ عَشَرَ نَفْسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَرْفَعُونَ أَيْدِيَهُمْ
“demikian juga diriwayatkan dari 17 orang sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa mereka mengangkat tangannya (ketika takbir)” (Juz Raf’il Yadain, 7). Kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat Nabi tersebut.
Namun mengangkat tangan ini juga tidak sampai wajib hukumnya karena sebagian sahabat Nabi terkadang meninggalkannya. Diantaranya Ibnu Umar radhiallahu’anhu, yang meriwayatkan hadits tentang raf’ul yadain, beliau terkadang meninggalkannya. Dari Muhajid, ia berkata:
صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمْ يَكُنْ يَرْفَعُ يَدَيْهِ إِلَّا فِي التَّكْبِيرَةِ الْأُولَى مِنَ الصَّلَاةِ
“aku pernah shalat bermakmum pada Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, ia tidak pernah mengangkat kedua tangannya kecuali pada takbir yang pertama dalam shalat (takbiratul ihram)” (HR. Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, 1357, dengan sanad yang shahih).
Juga riwayat dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, ia berkata:
أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي أَوَّلِ تَكْبِيرَةٍ مِنَ الصَّلَاةِ , ثُمَّ لَا يَرْفَعُ بَعْدُ
“Ali (bin Abi Thalib) radhiallahu’anhu pernah mengangkat tangan pada takbir pertama dalam shalat, kemudian setelah itu tidak mengangkat tangannya lagi” (HR. Ath Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar, 1358, dengan sanad yang hasan).
Sebagian ulama berpendapat mengangkat tangan ketika takbir hendak rukuk tidak disyariatkan, sebagian lagi berpendapat hal ini mansukh. Berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas berikut:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ ، عَنْ عَلْقَمَةَ ، قَالَ : قَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ : أَلَا أُصَلِّي لَكُمْ صَلَاةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَ : ” فَصَلَّى ، فَلَمْ يَرْفَعْ يَدَيْهِ إِلَّا مَرَّةً “
“Waki’ menuturkan kepadaku, Sufyan menuturkan kepadaku, dari Ashim bin Kulaib, dari Abdurrahman bin Al Aswad, dari Alqamah, ia berkata bahwa Ibnu Mas’ud berkata: “Apakah kalian ingin aku ajarkan shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?”. Lalu beliau shalat dan tidak mengangkat tangannya kecuali sekali saja”.
Walaupun seluruh perawinya adalah perawi Shahih Muslim, para ulama berselisih pendapat mengenai keshahihan hadits ini. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hazm, dihasankan oleh At Tirmidzi, dan dilemahkan oleh Ibnul Mubarak, Abu Hatim Ar Razi, Al Bukhari, Abu Daud, Ad Daruquthni, dan Ibnu Hibban. Yang menjadi permasalahan adalah status perawi Ashim bin Kulaib, dugaan tadlis Sufyan Ats Tsauri dan dugaan inqitha’ antara Abdurrahman bin Al Aswad dan Alqamah serta penyelisihan riwayat ini terhadap riwayat-riwayat yang menetapkan raf’ul yadain.
Adapun mengenai Ashim bin Kulaib, beliau dikatakan oleh Ali bin Al Madini: “tidak bisa dijadikan hujjah jika bersendirian”. Dan dalam hal ini Ashim bersendirian. Ibnu Hajar berkata: “Shaduq, tertuduh berpemahaman irja”. Namun para ulama yang lain mentsiqahkannya, seperti Yahya bin Ma’in, Al Fasawi, An Nasa’i, Ahmad bin Hambal, Al Waqidi. Maka insya Allah yang tepat Ashim bin Kulaib adalah perawi yang tsiqah. Kemudian Sufyan Ats Tsauri memang termasuk mudallis namun beliau sangat sedikit melakukan tadlis dan hukum asalnya muhtamal bil ittishal (dianggap bersambung riwayatnya). Dan Adz Dzahabi dalam As Siyar menetapkan bahwa Abdurrahman bin Al Aswad meriwayatkan dari Alqamah. Demikian pula Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal.
Maka ringkasnya, wallahu a’lam, hadits Ibnu Abbas ini shahih. Sebagaimana dikatakan Al Albani dalam Ashlu Sifati Shalatin Nabiy (2/612).
Namun tetap tidak tepat jika mengatakan bahwa mengangkat tangan ketika takbir tidak disyariatkan atau sudah mansukh. Syaikh Al Albani menjelaskan: “tidak samar lagi tentang suatu kaidah ushul fiqih yang disepakati oleh ulama Hanafiyah dan juga yang berseberangan dengan Hanafiyah (dalam hal ini), serta para pengikut pendapat dimansukhnya raf’ul yadain, yaitu kaidah: ‘tidak boleh menetapkan nasakh selama nash yang nampak bertentangan masih bisa dijamak‘. Dan hal tersebut masih memungkinkan untuk dilakukan dalam kasus ini, dengan dua sisi:
Pertama, kita katakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terkadang mengangkat tangannya dan ini yang paling sering dipraktekkan, dan terkadang beliau meninggalkannya
Kedua, penetapan lebih didahulukan daripada penafian. Dan ini pun suatu kaidah ushuliyah juga” (Ashlu Sifati Shalatin Nabiy, 2/612).
Kesimpulannya, yang lebih rajih adalah pendapat yang menyatakan bahwa disyariatkan mengangkat tangan ketika takbir saat hendak rukuk dan hukumnya sunnah tidak sampai wajib, namun lebih afdhal jika meninggalkannya sesekali.
Sifat-sifat lainnya
Mengenai sifat-sifat lainnya yang mencakup:
- Lafadz takbir
- Ukuran suara takbir
- Cara mengangkat kedua tangan
- Sifat jari-jari dan telapak tangan ketika mengangkat tangan
- Ukuran tinggi mengangkat tangan
- Apakah takbir dahulu atau mengangkat tangan dahulu
Semua ini sama sebagaimana sifat takbiratul ihram yang sudah dijelaskan pada artikel yang telah lalu.
Semoga bermanfaat.
Referensi
- Ashlu Sifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah
- Sifatu Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi
- Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, Asy Syamilah
- Qurratu ‘Ainain bi Raf’il Yadain fis Shalah, Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Asy Syamilah
- Asy Syarhul Mumthi ‘ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Asy Syamilah
Artikel ini adalah bagian dari Kumpulan Artikel Sifat Shalat Sesuai Tuntunan Nabi.
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.or.id
🔍 Aqidah Dalam Islam, Ucapan Idul Fitri Rumaysho, Kemungkaran Adalah, Zakat Mal Untuk Siapa Saja, Bacaan Islam
Artikel asli: https://muslim.or.id/26470-sifat-takbir-intiqal-dalam-shalat.html